Seorang Pemuda dengan Ransel di Punggungnya

Tidak biasanya udara dingin berembus pada bulan Mei. Musim semi sebenarnya sudah datang. Akan tetapi hawa dingin Utara telah membuat Indiana, Amerika Serikat mengalami musim dingin lagi. Saya sedang duduk di dalam restoran dekat jendela bersama bersama dua teman. Makanannya lumayan enak.

Saat kami sedang asyik ngobrol, tiba-tiba perhatian saya beralih ke seberang jalan. Saya melihat ada seorang pria yang menggendong Ransel di punggungnya. Dia membawa sebuah tulisan yang berbunyi, "Saya mau bekerja untuk mendapat makanan." Batin saya tersentak. Saya menunjukkan itu pada teman-teman saya. Mereka berhenti makan sejenak untuk memerhatikan arah yang saya tunjukkan. Mereka menggeleng-gelengkan kepala sambil menunjukkan rasa iba. Kami meneruskan makan, tapi bayangan orang itu masih menggelitik pikiran saya. Usai makan, kami lalu berpisah jalan.

Saya buru-buru membayar makan dan keluar dari restoran, lalu menjalankan mobil pelan-pelan untuk mencari-cari pemuda asing itu, tetapi saya tidak menemukannya. Saya memutuskan untuk mampir di toko untuk membeli sesuatu. Saat kembali ke mobil, Roh Kudus berbisik: "Jangan kembali ke kantor dulu. Jelajahi kota ini sekali lagi." Begitulah, dengan penasaran saya kembali ke kota. Ketika saya sampai di simpang empat yang ketiga, saya melihat pria itu berdiri di tangga depan gereja sambil meletakkan ranselnya.

Saya memparkirkan mobil dan menemuinya. "Apakah Anda mencari pendeta?" tanya saya.

"Nggak juga," jawabnya," saya hanya beristirahat."

" Apakah Anda sudah makan?"

"Tadi pagi sudah sarapan."

"Mau nggak makan siang bersama saya?"

"Apakah Anda punya pekerjaan untuk saya?"

"Nggak ada, karena saya me-neglaju di kota ini untuk bekerja, tapi saya ingin mengajak Anda makan siang."

"Boleh," jawabnya sambil tersenyum.

Dalam perjalanan ke rumah makan, saya bertanya, "darimana asal Anda?"

"St. Louis."

"Sudah kemana saja?"

"Oh, kemana saja. Tapi kebanyakan di Florida."

"Sudah berapa lama berkelana seperti ini?"

"Empat belas tahun," jawabnya.

Saya yakin bertemu dengan orang yang luar biasa. Kami duduk berhadap-hadapan di restoran yang saya kunjungi tadi. Dari wajahnya, menandakan usianya sekitar 38 tahun. Tatapan matanya cerah. Dia berbicara dengan bersemangat. Saat membuka jaketnya, tampaklah tulisan di kaosnya:"Yesus adalah Kisah Tiada Akhir."

Namanya Daniel. Dia lalu menceritakan kisah hidupnya. Ketika masih muda dia telah membuat pilihan hidup yang keliru, sehingga harus mengalami banyak penderitaan. Namun hidupnya berubah ketika ketika sedang berkelana dan sampai di pantai Daytona. Dia mencoba minta pekerjaan pada seorang pria yang sedang mendirikan tenda besar. Dia pikir, orang itu sedang menyiapkan konser musik. Dia mendapat pekerjaan.tapi sesungguhnya tenda itu bukan untuk konser, melainkan untuk Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR). Dalam kebaktian itu, dia bertobat dan menyerahkan hidup pada Kristus.

"Sejak saat itu, saya berubah, "katanya," tapi saya merasa Tuhan menghendaki saya tetap berkelana. Dan itulah yang saya lakukan selama empat belas tahun ini."

"Apakah pernah terpikirkan untuk berhenti?" tanya saya.

"Pernah sekali. Saat itu saya merasa cocok sekali dengan tempat itu. Tapi Tuhan memberiku panggilan ini. Saya membagi-bagikan Alkitab. Sebenarnya itulah yang ada di dalam ransel saya. Saya bekerja apa saja supaya bisa membeli makanan dan Alkitab. Saya membagikan Alkitab ini menurut pimpinan Roh Kudus."

Saya terpana. Orang yang kelihatan seperti gelandangan ini ternyata bukan tunawisma. Pria ini punya misi dan hidup dengan pilihan itu. Saya terdiam beberapa saat. Kemudian saya bertanya lagi, "Bagaimana rasanya, sih?"

"Rasanya, apa?"

"Berjalan-jalan di kota sambil membawa semua barang Anda sambil membawa tulisan itu."

"Awalnya saya merasa malu sekali. Orang-orang menatap saya dengan aneh, lalu saling berbisik. Suatu kali ada orang yang melemparkan roti bekas gigitannya pada saya. Dari raut mukanya, saya melihat dia merasa jijik pada saya. Akan tetapi dia berubah menjadi baik sekali saat tahu bahwa saya sedang dipakai Tuhan untuk menjangkau dan mengubah orang-orang yang hidupnya seperti saya dulu."

Kami selesai makan. Di pintu keluar, dia berhenti sejenak. Dia berpaling pada saya dan berkata: "Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan"

Saya terharu.

"Apakah Anda memakai Alkitab versi lain?" tanya saya. Dia mengaku cenderung memilih terjemahan tertentu karena tidak terlalu tebal sehingga ringan dibawa berpergian. Dia menunjukkan Alkitab pribadinya. "Saya sudah membacanya sebanyak 14 kali,"katanya.

"Bagaimana Anda bisa sampai di kota ini?"

"Saya melihat ada peta kecil di balik karcis parkir."

"Apakah Anda punya tujuan untuk bekerja di sini?"

"Nggak juga. Saya cuma merasa mendapat dorongan harus datang ke sini. Saya merasa bahwa ada seseorang di kota ini yang membutuhkan Alkitab." Dia tersenyum penuh kehangatan. Wajahnya memancarkan roh ketulusan dalam pelayanannya. Saya mengantarnya kembali ke tempat kami bertemu tadi. Hujan mulai turun. Ketika saya memarkirkan mobil, dia mengambil sesuatu dari ranselnya. "Maukah Anda menanda-tangani buku catatan saya," katanya,"buku ini berisi tulisan kesan-pesan orang-orang yang saya temui."

Saya menuliskan di buku kecilnya bahwa komitmen dan panggilannya telah menyentuh hidup saya. Saya mendorongnya untuk tetap kuat dalam pelayanan. Saya lalu menuliskan ayat dari Yeremia: "Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu," demikianlah firman TUHAN, "yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan."

"Terimakasih sobat," katanya "saya tahu kita baru saja berkenalan dan kita belum begitu saling mengenal, tapi saya mengasihi Anda"

"Saya tahu," kata saya," saya mengasihi Anda juga.

"Tuhan itu baik."

"Tepat sekali. Saya ingin memeluk Anda."

Maka di pojokan jalan yang sibuk dan di bawah hujan lebat, saya berpelukan dengan teman baru saya.

Dia lalu menggendong ranselnya sambil berkata,"Sampai jumpa di Yerusalem Baru." "Ya, saya pasti ada di sana," jawab saya.

Dia mulai perjalanan lagi. Dia berhenti sejenak dan berpaling pada saya. "Jika Anda melihat sesuatu dan teringat pada saya, maukah Anda berdoa untuk saya?" teriaknya dari kejauhan.

"Ya, itu pasti," jawab saya sambil berteriak.

"Tuhan memberkati."

"Tuhan memberkati."

Itulah terakhir saya melihat dia.

*******

Malam itu saat saya pulang dari kantor, angin berhembus dengan kuat. Hawa dingin menerpa wajah saya. Saya buru-buru masuk mobil saya. Ketika saya meraih rem tangan, saya melihat ada sepasang sarung tangan coklat yang tergeletak di tongkat rem itu. Saya tahu ini milik Daniel.

Saya teringat kata-katanya: "Jika Anda melihat sesuatu dan teringat pada saya, maukah Anda berdoa untuk saya?" Saat ini, sepasang sarung tangan itu berada di meja kantor saya. Benda itu selalu mengingatkan saya paada teman saya yang unik itu dan berdoa untuk pelayanannya: "Sampai jumpa di Yerusalem Baru." Ya, Daniel, kita pasti bertemu di sana.

Tidak ada komentar: